Jika wartawan bergaya Kombes.Manajemen liputan harus dimiliki oleh wartawan saat menjalankan tugas peliputan di lapangan. Kalau tidak salah-salah wartawan bisa kesasar dan mutar-mutar hingga kepergok di jalan buntu. Akibatnya sang wartawan gagal memperoleh berita yang sudah dirancang untuk jadi berita utama.
Ketika bergabung dengan Majalah Gatra setelah Majalah TEMPO diberangus oleh Pak Harto tahun 1904 lalu, saya ditugasi oleh redaktur untuk meliput ke Belitung. Meterinya menarik, dukun se kabupaten Belitung mengancam Bupati Belitung akan betindak secara ghaib jika tidak mendengarkan tuntutan para ahli tenung ini.
Sayangnya, ketika saya memesan tiket penerbangan maskapai Deraya dari Palembang menuju Belitung penumpang sudah penuh.
Jurus manajemen kritis mulai bermain. Saya memilih terbang ke Pangkal Pinang di Bangka esok harinya, siapa tahu ada pesawat dari pulau penghasil timah itu menuju Belitung. Ternyata perkiraan meleset, dari Bagka pun penuh juga.
Cari jalan lain mencoba melalui kapal ferry penyebarangan, ternyata jadwal tidak ada sampai tiha hari berikutnya. Rasa was-was mu;ai menyergap. Saat kembali ke penginapan di hotel, saya teringat Kapolres yang baru dilantik dua hari sebelumnya adalah Letkol (sekarang AKBP ) Syafei Aksal, yang sudah kenal sejak menjabat Kasatpol Air Polda Riau.
Saya sengaja datang pagi hari pukul 07.00 WIB agar cepat bertemu sehingga tidak ketinggalan jadwal pesawat ke Be;litung.Begitu memasuki gedung Polres langsung saya sapa, “Pagi pak Kapolres”. Sang perwira kaget lalu menyapa ada liputan apa ini, seraya mengajak ke ruang kerjanya.
Usai sarapan lontong, saya sampaikan mau meliput ke Belitung tapi tak bisa karena pesawat penuh. “Saya masih baru, bagaimana caranya ini,” ujarnya.
“Pak, yang baru kan orangnya jabatannya kan tidak. Begini saja pak, bilang saja sama orang penerbangan Deraya itu ada tamu Kolonel (sekarang Kombes) dari Mebes Polri mendadak mau ke Belitung,” kata saya.
Setelah dikontak Kapolres, sesaat kemudian pihak Deraya menelepon Kapolres, siap pak bisa berangkat sekarang juga. Sayapun bergegas ke bandara ditemani ajudan menggunalkan mobil dinas Kapolres.
Begitu tiba di bandara saya melapor ke petugas Deraya. “Pak hari ini sudah penuh karena ada tamu dari Mabes Polri” jawab petugas tersebut. Saya jawab pak, tamu pak Kapolres itu saya. Entah karena tampilan saya tak meyakinkan, kurus, pakaian sipil sekenanya. Petugas otu menolak dengan alasan tamu itu pangkatnya Kolonol Pol dari Mabes.
Disaat posisi makin terancam, untungnya sang ajudan tampak berjalan menuju mobil, saya berteriak memanggilnya, “Pak orang ini gak percaya, tolonglah bantu yakinkan.”.
Ajudan berlar kecil lalu memberikan penjelasan sayalah tamu Kapolres itu. Akhirnya saya buka juga akal-akalan saya Itu saya lakukan karena tuntutan waktu mengejar liputan sudah mepet. Pimpinan Deraya di sana kesal, meski tetap menizinkan saya berangkat.
Saat saya berjalan menuju pesawat yang hendak berangkat, muncul lagi masalah baru.Saya dihentikan oleh seorang polisi. “Pak tolonglah bantu saya agar bisa berangkat juga. Saya dan keluarga sudah seminggu tertahan di Bangka ini karena pesawat penuh terus,”ucap saya,
Dia mengatakan diturunkan dari pesawat oleh pihak Deraya, sedang keluarganya masih di pesawat, dengan alasan ada atasannya dari Mabes Polri yang juga mau Belitung.
Saya tanya bagaimana caraku mau menolong. “Begini anakku usianya 8 tahun. Tolongnlah bapak pangku biar sama-sama berangkat kita semua.” Katanya.
Atas izin Deraya anak itu saya pangku saat lepas landas, setelah itu saya berdiri selama penerbangan satu jam. Saat pesawat mau mendarat kembali anak itu saya pangku.
Begitu keluar dari pesawat berjalan menuju bandara, ia tersenyum dan mengajak kalau ada waktu mampir di rumahnya.
Penulis : H Affan Bey Hutasuhut (Wartawan Majalah TEMPO 1987-1994)