Hak-hak Korban dalam penangkapan sebagaimana menurut Pasal 1 angka (20) KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Artinya, penangkapan itu merupakan tindakan penyidik yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang, kebebasan atau kemerdekaan disini dapat diartikan sebagai dapat berdiri di tempat mana dan pergi ke mana saja yang orang kehendaki akan tetapi harus memiliki cukup bukti dan dilakukan menurut cara-cara yang telah di tentukan dalam KUHAP.
Dalam menghadapi dan memeriksa suatu tindak pidana khususnya penangkapan tidaklah mudah karena dalam pelaksanaannya membutuhkan pemahaman manusia dan kemanusiaan, dimana disitu terdapat harkat dan martabat suatu pihak yang mesti dilindungi.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dalam proses penangkapan, penyidik harus mencermati peraturan yang berlaku. Pada Pasal 17 KUHAP mewajibkan penyidik dalam melakukan penangkapan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk mengetahui apakah seseorang tersebut benar-benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.
Jadi, penyidik dalam melakukan kewenangannya pada proses penyidikan tidak boleh sembarangan melakukan penangkapan terhadap seseorang. Jika penyidik melakukan hal tersebut, berarti penyidik telah melanggar ketentuan KUHAP.
Lalu bagaimana dengan seseorang yang menjadi korban salah tangkap? apa hak-hak yang diterimanya? dan apa upaya hukum yang dapat dilakukan? Korban salah tangkap merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sistematis dan termasuk dalam kejahatan yang serius sehingga korban berhak menuntut penegak hukum yang telah salah tangkap secara sah karena korban telah kehilangan hak hidup, kepemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak ilmu pengetahuan.
Negara juga bahkan bertanggung jawab terhadap korban salah tangkap karena Negara Indonesia menjunjung Hak Asasi Manusia karena merupakan hak yang fundamental sehingga harus terus dilindungi dan terbebas dari segala bentuk ancaman maupun penyiksaan.
Upaya Hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 95 KUHAP bahwa tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian kerena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang memberikan jangka waktu yaitu tiga (3) bulan setelah putusannya berkekuatan hukum tetap dan orang tersebut mendapat salinan atau petikan putusan tersebut.
Seseorang yang menjadi korban salah tangkap dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian tersebut melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri yang menangani perkaranya ditingkat pertama.
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan sah tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.
Jadi dalam upaya Praperadilan tersebut, seseorang yang menjadi korban salah tangkap dapat meminta ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan.
Penutup
Penulis sangat berharap agar seluruh penegak hukum di Indonesia yang berwenang melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dapat melakukan wewenangnya berdasarkan ketentuan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak mengakibatkan terjadinya tindakan salah tangkap.
Kemudian pemerintah harus memberikan ganti rugi dan rehabilas serta pemulihan nama baik terhadap seseorang yang menjadi korban salah tangkap agar terwujudnya keadilan yang seadil-adilnya.
Penulis : Finish Masa Derita Gea, S.H & Dr. Utary Maharany Barus, S.H, M.Hum Mahasiswa Magister Ilmu Hukum USU