Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan salah satu kejahatan yang paling membahayakan tatanan ekonomi dan hukum di Indonesia. Tidak hanya karena merugikan negara secara materil, tetapi juga karena pencucian uang menjadi instrumen strategis untuk menyamarkan hasil dari tindak pidana berat lainnya.
Contoh TPPU seperti korupsi, narkotika, perdagangan orang, atau penyelundupan. Pencucian uang adalah cara para pelaku kejahatan mempertahankan keuntungan dan eksistensi mereka di bawah perlindungan “legalitas semu”.
Dalam sistem hukum nasional, Indonesia telah memiliki regulasi yang relatif lengkap dalam menanggulangi kejahatan ini, khususnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Namun demikian, efektivitas penegakan hukum terhadap TPPU masih menghadapi banyak kendala struktural, termasuk lemahnya komitmen penegakan hukum, kurangnya pembuktian finansial, serta belum optimalnya fungsi lembaga seperti PPATK dalam memberikan dukungan yang bersifat actionable kepada aparat penegak hukum.
Secara normatif, UU TPPU mengatur dengan tegas bahwa setiap orang yang mengetahui atau patut menduga bahwa aset yang diterimanya berasal dari tindak pidana, dan kemudian menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta tersebut, dapat dikenakan sanksi pidana.
Undang-undang ini memperkenalkan pendekatan “follow the money” dan “reverse burden of proof” (pembuktian terbalik), yang seharusnya mempermudah jaksa dan penyidik untuk membuktikan keterkaitan aset dengan tindak pidana.
Namun dalam praktik, prinsip-prinsip ini masih belum diterapkan secara optimal. Banyak putusan pengadilan yang masih konvensional, mensyaratkan pembuktian mendetail atas tindak pidana asal sebelum dapat menetapkan TPPU. Hal ini bertentangan dengan semangat UU TPPU, yang justru membuka ruang untuk mengadili pencucian uang secara terpisah dari perkara asal.
Berdasarkan kondisi tersebut, penulis berpendapat bahwa penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) harus dilakukan secara lebih agresif dan sistematis, dengan mengedepankan pembalikan beban pembuktian, serta penguatan sinergi antar lembaga, alasannya sebagai berikut:
a) UU TPPU memberi ruang pembuktian non-konvensional, yaitu fokus pada asal-usul aset dan ketidaksesuaian dengan profil ekonomi pelaku. Aparat penegak hukum harus lebih berani menggunakan pendekatan ini, bahkan tanpa perlu menunggu pembuktian lengkap atas kejahatan pokoknya.
b) Prinsip pembuktian terbalik harus menjadi norma dalam praktik pengadilan, terutama terhadap pejabat publik atau korporasi yang tidak dapat menjelaskan kekayaan secara logis. Prinsip ini telah diakui Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan asas pradugan tak bersalah (presumption of innocence), selama dibatasi pada harta, bukan pada status bersalah.
c) Sinergi antar lembaga penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK, PPATK) harus diwujudkan dalam satu sistem pelacakan aset nasional. Tidak jarang, data dari PPATK tidak ditindaklanjuti secara serius karena keterbatasan SDM atau minimnya pelatihan di bidang financial forensic.
d) Hakim harus memiliki pemahaman ekonomi dan keuangan modern, agar mampu menafsirkan pola transaksi mencurigakan, tidak hanya berpatokan pada alat bukti tradisional. Pendidikan hukum acara pidana keuangan harus masuk dalam kurikulum pendidikan hakim dan jaksa.
Saya berharap kejahatan TPPU tidak lagi menjadi kejahatan “Elit’’ tak tersentuh.Jika Indonesia serius ingin membangun sistem hukum dan ekonomi yang bersih, maka TPPU harus diperlakukan sebagai musuh bersama. Tidak cukup hanya dengan menyusun undang-undang, namun dibutuhkan keberanian moral dan integritas dalam penegakannya.
Sudah waktunya penegakan hukum terhadap pencucian uang tidak lagi bersifat simbolik, melainkan menjadi alat nyata untuk memiskinkan penjahat, mengembalikan aset negara, dan menghentikan daur ulang kejahatan. Tanpa itu, pemberantasan korupsi, narkotika, dan kejahatan besar lainnya akan selalu setengah jalan.
Penulis : Muhammad Abdussalam Rafie (Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera)