Fenomena hukum vs geng motor sering kali dikaitkan dengan perkelahian atau tindakan kekerasan yang mana Tindakan ini bisa mencakup pemukulan, penggunaan senjata tajam, hingga pembunuhan.
Kekerasan yang terjadi dalam geng motor biasanya dilakukan dengan motif yang beragam, seperti membalas dendam antar geng, menunjukkan dominasi atau kekuatan, dan faktor lainnya yang sering kali melibatkan persaingan atau keanggotaan dalam kelompok.
Dari sudut pandang hukum, kekerasan tersebut dapat merusak stabilitas sosial dan ketertiban umum, yang merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, polisi memiliki kewenangan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Oleh karena itu, aparat kepolisian perlu bertindak tegas dalam menangani geng motor yang melakukan aksi kekerasan atau anarkisme, termasuk dalam kasus selambo.
Kasus selambo yang melibatkan geng motor melibatkan beberapa tindak pidana yang merugikan masyarakat dan negara. Tindakan-tindakan seperti kekerasan, perusakan, penganiayaan, serta ancaman terhadap nyawa dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Di antaranya ialah Pasal 170 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan terhadap orang atau barang.
Dalam kasus selambo, kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota geng motor terhadap individu atau kelompok lain dapat dikenakan pasal ini.
Sedangkan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, yang dapat dikenakan kepada anggota geng motor yang melakukan penganiayaan baik ringan, sedang, maupun berat terhadap korban.
Dan juga pada Pasal 406 KUHP tentang perusakan, dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain dalam aksi mereka.
Jika terjadi ancaman yang disertai dengan kekerasan, pelaku dapat dikenakan Pasal 336 KUHP mengenai ancaman kekerasan.
Selain itu, dalam beberapa kasus, jika geng motor terlibat dalam peredaran narkoba atau tindak pidana lain yang lebih serius, maka hukum pidana tambahan dapat diberlakukan.
1.Penyalahgunaan Organisasi dan Tanggung Jawab Pihak Terkait.Jika geng motor yang terlibat dalam kasus selambo memiliki struktur organisasi tertentu, maka pengurus atau pemimpin geng motor dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan para anggotanya.
Dalam hal ini, jika organisasi geng motor terbukti terlibat dalam tindak pidana terorganisir, mereka dapat dikenakan sanksi lebih berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta ketentuan lainnya mengenai tindak pidana terorisme atau kejahatan terorganisir jika tindakan mereka mengarah pada kejahatan yang lebih besar.
Pengurus atau anggota yang berperan aktif dalam merencanakan atau mengkoordinasikan aksi kekerasan harus bertanggung jawab secara hukum. Hal ini penting untuk mencegah terbentuknya budaya kekerasan yang terorganisir dan mendorong pembubaran organisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal.
2.Pendekatan Hukum Preventif dan Rehabilitatif.Selain penindakan hukum yang tegas, penting juga untuk melakukan pendekatan preventif agar tidak terjadi pembentukan geng motor yang melakukan tindakan kekerasan. Pendekatan preventif ini mencakup edukasi dan pembinaan kepada masyarakat, terutama kepada remaja yang rentan menjadi anggota geng motor.
Pendidikan mengenai hak asasi manusia, moralitas, dan tanggung jawab sosial sangat diperlukan untuk mencegah individu terjerumus ke dalam perilaku kekerasan. Selain itu, pelatihan keterampilan atau kegiatan yang dapat membangun rasa kebersamaan dan persatuan yang positif dapat menjadi alternatif untuk menggantikan kelompok-kelompok kekerasan yang ada.
3. Peran Masyarakat dan Pemerintah.
Dalam menangani masalah geng motor dan kasus seperti selambo, tidak hanya aparat penegak hukum yang harus turun tangan, tetapi juga masyarakat dan pemerintah memiliki peran yang sangat besar.
Pemerintah harus lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan menanggulangi faktor-faktor sosial yang menyebabkan munculnya geng motor, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan keterbatasan lapangan kerja.
Masyarakat juga harus lebih peka dan tidak takut melapor apabila ada indikasi atau tindakan dari geng motor yang mengarah pada kekerasan. Sistem pelaporan yang aman dan terpercaya dapat mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Kesimpulan bahwa dalam kasus Selambo yang melibatkan geng motor harus ditangani dengan pendekatan hukum yang tegas dan menyeluruh. Penegakan hukum melalui sanksi pidana yang tegas, diiringi dengan upaya preventif dan rehabilitasi.
Penulis : Nova Febrina Barus & Dr. Utary Maharany Barus, S.H, M.Hum Mahasiswa Magister Ilmu Hukum USU